Beberapa Hadits-hadits Dhoif yang Terkenal (Masyhur) di Masyarakat Kita
Hadits-hadits
lemah (dhoif) yang tersebar di kalangan kaum muslimin banyak sekali,
namun mereka tak sadar bahwa hadits-hadits dhoif bukanlah berasal
dari Rasulullah SAW. Oleh karena itu, kita tidak boleh ber-hujjah
dan beramal dengan hadits dhoif tersebut.
Tuntutlah Ilmu Sampai ke Negeri Cina
Hadits
dhoif (lemah), apalagi palsu, tidak boleh dijadikan dalil dan
hujjah dalam menetapkan suatu aqidah dan hukum syar’i di dalam Islam.
Demikian pula, tidak boleh diyakini hadits tersebut sebagai sabda
Nabi SAW. Di antara hadits-hadits dhoif (lemah) yang masyhur digunakan
oleh para khatib dan da’i dalam mendorong manusia untuk menuntut
ilmu di mana pun tempatnya sekalipun jauhnya sampai ke Negeri Tirai
Bambu, Cina, adalah hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik ra.
dari Nabi SAW, beliau bersabda,
اطلبوا العلم ولو بالصين
“Tuntutlah ilmu, walaupun di negeri Cina”.
[HR. Ibnu Addi dalam Al-Kamil (207/2), Abu Nu’aim dalam Akhbar
Ashbihan (2/106), Al-Khathib dalam Tarikh Baghdad (9/364), Al-Baihaqiy
dalam Al-Madkhol (241/324), Ibnu Abdil Barr dalam Al-Jami’ (1/7-8),
dan lainnya, semuanya dari jalur Al-Hasan bin ‘Athiyah, ia berkata,
Abu ‘Atikah Thorif bin Sulaiman telah menceritakan kami dari Anas
secara marfu’]
Ini adalah hadits dhaif jiddan (lemah sekali),
bahkan sebagian ahli hadits menghukuminya sebagai hadits batil, tidak
ada asalnya. Ibnul Jauziy –rahimahullah- berkata dalam Al-Maudhu’at
(1/215) berkata, ‘’Ibnu Hibban berkata, hadits ini batil, tidak ada
asalnya’’. Oleh karena ini, Syaikh Al-Albaniy –rahimahullah- menilai
hadits ini sebagai hadits batil dan lemah dalam Adh-Dhaifah (416).
As-Suyuthiy
dalam Al-La’ali’ Al-Mashnu’ah (1/193) menyebutkan dua jalur lain
bagi hadits ini, barangkali bisa menguatkan hadits di atas. Ternyata,
kedua jalur tersebut sama nasibnya dengan hadits di atas, bahkan
lebih parah. Jalur yang pertama, terdapat seorang rawi pendusta,
yaitu Ya’qub bin Ishaq Al-Asqalaniy. Jalur yang kedua, terdapat rawi
yang suka memalsukan hadits, yaitu Al-Juwaibariy. Ringkasnya, hadits
ini batil, tidak boleh diamalkan, dijadikan hujjah, dan diyakini
sebagai sabda Nabi SAW .
Tuntutlah Duniamu
اِعْمَلْ لِدُنْيَاكَ كَأَنَّكَ تَعِيْشُ أَبَدًا, وَاعْمَلْ لِآخِرَتِكَ كَأَنَّكَ تَمُوْتُ غَدًا
“Beramallah untuk duniamu
seakan-akan engkau hidup akan selamanya dan beramallah untuk
akhiratmu seakan-akan engkau akan mati besok”.
Ini
bukanlah sabda Nabi SAW, walaupun masyhur di lisan kebanyakan
mubaligh di zaman ini. Mereka menyangka bahwa ini adalah sabda
beliau. Sangkaan seperti ini tidaklah muncul dari mereka, kecuali
karena kebodohan mereka tentang hadits. Di samping itu, mereka hanya
“mencuri dengar” dari kebanyakan manusia, tanpa melihat sisi
keabsahannya.
Hadits ini
diriwayatkan dua sahabat. Namun, kedua hadits tersebut lemah karena
di dalamnya terdapat inqitho’ (keterputusan) antara rawi dari sahabat
dengan sahabat Abdullah bin Amer. Satunya lagi, cuma disebutkan oleh
Al-Qurthubiy, tanpa sanad. Oleh karena itu, Syaikh Al-Albaniy
men-dhoif-kan (melemahkan) hadits ini dalam Silsilah Al-Ahadits
Adh-Dho’ifah (No. 8).
Surat Yasin Hatinya Al-Qur’an
Banyak
hadits-hadits yang tersebar di kalangan masyarakat menjelaskan
keutamaan-keutamaan sebagian surat-surat Al-Qur’an. Namun sayangnya,
banyak di antara hadits itu yang lemah, bahkan palsu. Maka cobalah
perhatikan hadits berikut:
إن لكل شيء قلبا, وإن قلب القرآن (يس) , من قرأها فكأنما قرأ القرآن عشر مرات
“Sesungguhnya segala
sesuatu memiliki hati, sedang hatinya Al-Qur’an adalah Surat Yasin.
Barang siapa yang membacanya, maka seakan-akan ia telah membaca
Al-Qua’an sebanyak 10 kali“.
[HR. At-Tirmidziy dalam As-Sunan (4/46), dan Ad-Darimiy dalam Sunan-nya (2/456)]
Hadits ini adalah hadits maudhu’ (palsu),
karena dalam sanadnya terdapat dua rawi hadits yang tertuduh dusta,
yaitu: Harun Abu Muhammad dan Muqotil bin Sulaiman. Karenanya, Ahli
hadits zaman ini, yaitu Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albaniy
-rahimahullah- menggolongkannya sebagai hadits palsu dalam kitabnya
As-Silsilah Adh-Dho’ifah (No.169).
Perselisihan Umatku adalah Rahmat
Sudah
menjadi takdir Allah -Azza wa Jalla-, adanya perpecahan di dalam
Islam dan memang hal tersebut telah disampaikan oleh Rasulullah SAW. Di
negara kita sendiri, sekte-sekte dan aliran sesat yang menyandarkan
diri kepada Islam sudah terlalu banyak. Apabila kita memperingatkan
dan membantah kesesatan aliran-aliran tersebut, maka sebagian kaum
muslimin membela aliran-aliran tersebut. Mereka berdalil dengan
hadits berikut,
إِخْتِلَافُ أُمَّتِيْ رَحْمَةٌ
Padahal hadits ini dhoif
(lemah), bahkan tidak ditemukan dalam kitab-kitab hadits. Syaikh
Al-Albaniy -rahimahullah- berkata, “Hadits ini tak ada asalnya. Para
ahli hadits telah mengerahkan tenaga untuk mendapatkan sanadnya,
namun tak mampu”.
Dari segi makna, hadits ini juga batil. Ibnu Hazm -rahimahullah- dalam Al-Ihkam (5/64) berkata, “Ini
merupakan ucapan yang paling batil, karena andaikan ikhtilaf
(perselisihan) itu rahmat, maka kesepakatan adalah kemurkaan. Karena
di sana tak ada sesuatu kecuali kesepakatan dan perselisihan; tak ada
sesuatu kecuali rahmat atau kemurkaan“.
Barang Siapa Mengenal Dirinya, Dia Akan Mengenal Rabb-nya
Di
sini ada sebuah hadits yang palsu dan tidak ada asalnya, namun sering
digunakan oleh sebagian orang sufi untuk menguatkan kesesatan mereka.
Hadits itu berbunyi,
مَنْ عَرَفَ نَفْسَهُ فَقَدْ عَرَفَ رَبّـَهُ
“Barang Siapa yang mengenal dirinya, maka sungguh dia akan mengenal Rabb (Tuhan)-nya”.
Syaikh Al-Albaniy -rahimahullah- dalam Adh-Dha’ifah (1/165) berkata, “Hadits ini tidak ada asalnya” [Adh-Dha’ifah (1/165)]. An-Nawawiy berkata, “Hadits ini tidak tsabit (tidak shahih)” [Al-Maqashid (198) oleh As-Sakhowiy].
As-Suyuthiy berkata, “Hadits ini tidak shahih” [Lihat Al-Qoul Asybah (2/351 Al-Hawi)].
Ringkasnya,
hadits ini merupakan hadits palsu yang tidak ada asalnya. Oleh
karena itu, seorang muslim tidak boleh mengamalkannya, dan
meyakininya sebagai sabda Nabi SAW.
Keutamaan Menamatkan Al-Qur'an
Membaca
Al-Qur’an apalagi menamatkannya merupakan keutamaan besar bagi
seorang hamba, karena setiap hurufnya diberi pahala oleh Allah
-Ta’ala-. Keutamaan tersebut telah dijelaskan dalam beberapa hadits,
tetapi bukan hadits berikut karena haditsnya palsu. Bunyi hadits palsu
ini:
إِذَا خَتَمَ الْعَبْدُ الْقُرْآنَ صَلَّى عَلَيْهِ عِنْدَ خَتْمِهِ سِتُّوْنَ أَلْفَ مَلَكٍ
”Jika seorang hamba telah menamatkan Al Qur’an, maka akan bershalawat kepadanya 60.000 malaikat ketika ia menamatkannya”.
[HR. Ad-Dailamiy dalam Musnad Al-Firdaus (1/1/112)].
Hadits ini palsu
disebabkan oleh rawi yang bernama Al-Hasan bin Ali bin Zakariyya, dan
Abdullah bin Sam’an, kedua orang ini, adalah pendusta, biasa
memalsukan hadits. Syaikh Al-Albaniy menyatakan kepalsuan hadits ini
dalam Adh-Dho’ifah (2550).
Macam-macam Wanita
Di
dunia ini wanita ini bermacam-macam jenisnya. Ada yang seperti
kantong plastik, setelah dimanfaatkan dibuang. Ada juga yang sama
sekali tidak ada manfaatnya, bahkan merusak yang lain. Namun, yang
terbaik adalah wanita yang banyak memberi manfaat bagi dirinya dan
orang lain, terutama suami. Dia membantu diri dan suaminya di atas
ketaatan. Konon kabarnya Nabi SAW bersabda,
النِّسَاءُ
عَلَى ثَََََلَاثَةِ أَصْنَافٍ صِنْفٍ كاَلْوِعَاءِ تَحْمِلُ وَتَضَعُ
وَصِنْفٍ كَالْعَرِّ وَهُوَ الْجَرَبُ وَصِنْفٍ وَدُوْدٍ وَلُوْدٍ
تُعِيْنُ زَوْجَهَا عَلَى إِيْمَانِهِ فَهِيَ خَيْرٌ لَهُ مِنَ الْكَنْزِ
“Wanita-wanita itu ada tiga
macam: kelompok wanita seperti bejana, ia hamil dan melahirkan;
kelompok wanita seperti koreng – yaitu kudis-; kelompok wanita yang
amat penyayang dan banyak melahirkan, serta membantu suaminya di atas
keimanannya. Wanita ini lebih baik bagi suaminya dibandingkan harta
simpanan“.
[HR.Tamam Ar-Raziy dalam Al-Fawa’id (206/2)].
Namun sayangnya, hadits ini adalah hadits dhoif munkar,
karena ada seorang rawi yang bernama Abdullah bin Dinar. Dia adalah
seorang rawi yang munkar haditsnya sebagaimana yang dikatakan oleh
Ibnu Abi Hatim dalam Al-Ilal (2/310). Jadi, hadits ini tidak boleh
dianggap sebagai sabda Nabi SAW. Karenanya, Syaikh Al-Albaniy
memasukkan hadits ini dalam silsilah hadits dhoif dalam Adh-Dho’ifah
(714).
Memandang Wanita Cantik
Memiliki
pandangan yang tajam dan penglihatan yang jernih merupakan nikmat
yang besar dari Allah SWT, sehingga terkadang seseorang menempuh
berbagai cara untuk memperoleh penglihatan yang tajam. Dan mungkin
juga ada di antara kaum muslimin yang sering sekali memandang setiap
wanita yang cantik dengan tujuan mempertajam penglihatannya, beramal
dengan hadits berikut;
النََّظَرُ إِلىَ وَجْهِ المَرْأَةِ الحَسْنَاءِ وَالخُضْرَةِ يَزِيْدَانِ فِيْ البَصَرِ
“Memandang wajah wanita cantik dan yang hijau-hijau menambah ketajaman penglihatan”.
[HR. Abu Nu’aim dalam Hilyah Al-Auliya’ (3/201-202), dan Ad-Dailamiy dalam Musnad Al-Firdaus (4/106)]
Hadits ini maudhu’ (palsu),
karena dalamnya ada rawi yang dhoif dan tidak ditemukan ada seorang
ahli hadits yang menyebutkan biografinya. Rawi itu ialah Ibrahim bin
Habib bin Sallam Al-Makkiy. Karenanya, Adz-Dzahabiy berkata, “Hadits
ini batil”. Ibnul Qoyyim dalam Al-Manar Al-Munif berkata, “Hadits ini
dan semisalnya adalah buatan orang-orang zindiq (munafik)” [Lihat
Adh-Dho’ifah (133)]
Menjaga Mata ketika Jima’ (Bersetubuh)
Melihat kemaluan istri ketika berhubungan adalah boleh berdasarkan hadits-hadits shahih. Adapun hadits yang berbunyi:
إِذَا جَامَعَ أَحَدُكُمْ زَوْجَتَهُ أَوْ جَاِريَتَهُ فَلَا يَنْظُرْ إِلَى فَرْجِهَا فَإِنَّ ذَلِكَ يُوْرِثُ الْعَمَى
“Apabila seorang di antara
kalian berhubungan dengan istrinya atau budaknya, maka janganlah ia
melihat kepada kemaluannya, karena hal itu akan mewariskan kebutaan“.
[HR. Ibnu Adi dalam Al-Kamil (2/75)].
Maka hadits ini adalah palsu
karena dalam sanadnya terdapat Baqiyah ibnul Walid. Dia adalah
seorang mudallis yang biasa meriwayatkan dari orang-orang pendusta
sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu Hibban. Lihat Adh-Dho’ifah (195)
Merayu Istri
Bercumbu
dan merayu istri adalah perkara yang dianjurkan oleh Nabi SAW. Namun,
jangan kalian tertipu dengan hadits palsu berikut ini:
زينوا مجالس نسائكم بالمغزل
“Hiasilah majelis istri-istri kalian dengan rayuan“.
[HR. Ibnu Adi dalam Al-Kamil fi Adh-Dhu’afaa’ (6/130), dan Al-Khothib dalam Tarikh Baghdad (5/280)]
Hadits ini palsu
karena dalam rawi hadits ini terdapat Muhammad bin Ziyad
Al-Yasykuriy. Dia seorang pendusta lagi suka memalsukan hadits. Lihat
Adh-Dho’ifah (1/72/no.19) karya Al-Albaniy -rahimahullah-.
Perbanyak Dzikir Sampai Dianggap Gila
Di
antara kebiasaan orang-orang sufi, mereka berdzikir dengan cara
melampaui batas syariat Islam, yaitu berdzikir dengan bilangan yang
memberatkan diri seperti berdzikir sebanyak 70 ribu kali, 100 ribu kali.
Padahal, maksimal dari Nabi SAW sebanyak 100 kali dalam
dzikir-dzikir tertentu, bukan pada semua jenis dzikir.
Mereka membebani diri seperti ini, karena mendengar hadits berikut:
أَكْثِرُوْا مِنْ ذِكْرِاللهِ حَتى يَقُوْلُوْا مَجْنُوْنٌ
“Perbanyaklah dzikir, sehingga orang-orang berkata, engkau gila”.
[HR. Ahmad (3/68), Al-Hakim (1/499), dan Ibnu Asakir (6/29/2)]
Hadits ini lemah
karena diriwayatkan oleh Darraj Abu Samhi. Dia lemah riwayatnya yang
berasal dari Abul Haitsam. Di-dhoif-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam
Adh-Dho’ifah (no. 517) (2/9).
Barang Siapa Dunia adalah Cita-Citanya
Banyak
hadits lemah dan palsu yang tersebar di masyarakat melalui lisan
para khatib yang memiliki ilmu agama (khususnya ilmu hadits),
sehingga banyak di antara masyarakat tertipu dan menyangkanya sebagai
sabda Nabi SAW.
Di antara hadits tersebut:
مَنْ
أَصْبَحَ وَالدُّنْيِا أَكْثَرُ هَمِّهِ فَلَيْسَ مِنَ اللهِ فَيْ
شَيْءٍ وَمَنْ لَمْ يَتَّقِ اللهَ فَلَيْسَ مِنَ اللهِ فِيْ شَيْءٍ
وَمَنْ لَمْ يَهْتَمَّ لِلْمُسْلِمِيْنَ عَامَّةً فَلَيْسَ مِنْهُمْ
“Barang siapa yang berada
di waktu pagi, sedang dunia adalah cita-citanya yang terbesar, maka
ia tidak akan berada dalam suatu (jaminan) dari Allah sedikit pun.
Barang siapa yang tidak bertakwa kepada Allah, maka ia tidak akan
berada dalam suatu (jaminan) dari Allah sedikit pun. Barang siapa
yang tidak memperhatikan urusan kaum muslimin seluruhnya, maka ia
bukan termasuk di antara mereka“.
[HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak (4/317) Al-Khatib dengan penggalan pertama dari hadits ini dalam Tarikh Bagdad (9/373)].
Hadits ini palsu
karena di dalam sanad-nya terdapat rawi yang tertuduh dusta, yaitu
Ishaq bin Bisya. Hadits ini memiliki jalur periwayatan lain, namun ia
tidak bisa menguatkan hadits di atas, karena kelemahannya tidak jauh
beda dengannya. Oleh karenanya, Al-Albany menyatakan hadits ini palsu
dalam Adh-Dha’ifah (309)
Sebab Kacaunya Bacaan Imam
Seorang
imam terkadang salah dalam bacaannya. Jika ia salah, maka muncullah
beberapa persangkaan yang buruk. Ada di antara mereka berpendapat
bahwa kacaunya bacaan imam disebabkan adanya di antara jama’ah yang
tak beres melaksanakan wudhu’ atau mandi junub. Ini didasari oleh
hadits palsu yang bukan hujjah, seperti hadits yang berbunyi:
إِذَا صَلَّيْتُمْ خَلْفَ أَئِمَّتِكُمْ فَأَحْسِنُوْا طُهُوْرَكُمْ فَإِنَّمَا يَرْتَجُّ عَلَى الْقَارِىءِ قِرَاءَتُهُ بِسُوْءِ طُهْرِ الْمُصَلِّي خَلْفَهُ
“Jika kalian sholat di
belakang imam kalian, perbaikilah wudhu’ kalian, karena kacaunya
bacaan imam bagi imam disebabkan oleh jeleknya wudhu’ orang yang ada
di belakang imam“.
[HR. Ad-Dailamiy dalam Musnad Al-Firdaus (1/1/63)]
Hadits ini palsu
sebab di dalamnya terdapat rawi yang majhul, seperti Abdullah bin
Aun bin Mihroz, Abdullah bin Maimun. Rawi lain, Muhammad bin
Al-Furrukhon, ia seorang yang tak tsiqah. Dari sisi lain, sudah
dimaklumi bahwa jika Ad-Dailamiy bersendirian dalam meriwayatkan
hadits dalam kitabnya Musnad Al-Firdaus, maka hadits itu palsu.
Karenanya, Syaikh Al-Albaniy menyatakan palsunya hadits ini dalam
Adh-Dho’ifah (2629).
Mengusap Kedua Kelopak Mata dengan Kedua Ibu Jari
Ada
di antara kaum muslimin yang biasa melakukan amalan yang terkadang
tidak diketahui dasarnya. Setelah mengadakan pemeriksaan terhadap
kitab-kitab hadits, ternyata berdasarkan hadits lemah, palsu, bahkan
terkadang tidak ada dalilnya.
Di
antara amalan mereka ini yang tidak berdasar, yaitu mengusap kedua
kelopak mata dengan kedua ibu jari. Mereka hanya berdasarkan hadits
palsu yang dinisbahkan kepada Nabi Khidir.
Konon kabarnya Nabi Khidir AS berkata, “Barang
siapa yang mengucapkan selamat datang kekasihku dan penyejuk mataku,
Muhammad bin Abdullah SAW, kemudian ia mencium kedua ibu jarinya
dan meletakkannya pada kedua matanya, ketika ia mendengar muadzdzin
berkata,
أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدً رَسُوْلُ اللهِ
Maka ia tidak sakit mata selamanya.”
[HR. Abul Abbas Ahmad bin Abu Bakr Ar-Raddad Al-Yamaniy dalam Mujibat
Ar-Rahmah wa ‘Aza’im Al-Maghfirah dengan sanad yang terdapat di
dalamnya beberapa orang majhul (tidak dikenal), di samping terputus
sanad-nya. Karenanya Syaikh Al-Albaniy melemahkan hadits ini dalam
Adh-Dha’ifah (1/173) dari riwayat Ad-Dailamy dan Syaikh Masyhur Alu
Salman dalam Al-Qoul Al-Mubin (hal.182)]
Keutamaan Memakai Sorban Ketika Sholat
Memakai
sorban adalah sunah dan ciri khas kaum muslimin baik dalam sholat
maupun di luar sholat, sebagaimana yang dijelaskan dalam beberapa
hadits. Namun, tak ada satu hadits pun yang menjelaskan keutamaan
tertentu memakai sorban saat sholat, kecuali hadits-nya lemah atau
palsu, seperti hadits berikut:
رَكْعَتَانِِ بِعِمَامَةٍ خَيْرٌ مِنْ سَبْعِيْنَ رَكْعَةً بَلَا عِمَامَةٍ
“Sholat dua rakaat dengan memakai sorban lebih baik dibandingkan sholat 70 rakaat tanpa sorban“. [HR. Ad-Dailamiy dalam Musnad Al-Firdaus sebagaimana yang disebutkan oleh As-Suyuthiy dalam Al-Jami’ Ash-Shoghir]
Hadits ini maudhu’ (palsu)
sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam
Adh-Dho’ifah (128), “Hadits ini palsu”. Selanjutnya beliau juga
mengomentari ulang hadits ini dalam Adh-Dho’ifah (5699).
Sujud Menyentuh Tanah
Seorang
ketika sujud dalam sholat boleh ia memakai alas. Menyentuhkan
telapak tangan, dahi, dan anggota sujud lainnya ke tanah, ini tak ada
keutamaan tertentu baginya. Adapun hadits berikut:
إِذَا سَجَدَ أَحَدُكُمْ فَلْيُبَاشِرْ بِكَفَّيْهِ الْأَرْضَ عَسَى اللهُ أَنْ يَفُكَّ عَنْهُ الْغُلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Jika seorang di antara
kalian bersujud, maka hendaknya ia menyentuhkan kedua telapak
tangannya ke tanah, semoga Allah melepaskan belenggu darinya pada
hari kiamat“.
[HR. Ath-Thobroniy dalam Al-Ausath (6/58), cet. Dar Al-Haromain]
Hadits ini adalah dho’if (lemah),
tak bisa dijadikan hujjah karena di dalamnya ada rawi bermasalah:
Ubaid bin Muhammad, seorang rawi yang memiliki hadits-hadits mungkar
[Lihat Al-Majma’ (2/311/no.2764)]. Sebab inilah, Syaikh Al-Albaniy
menggolongkan hadits ini lemah dalam Adh-Dho’ifah (2624)
Jangan Shalat, Jangan Bicara
Jika
khatib telah berada di atas mimbar dan muadzin berkumandang, maka
seorang yang melaksanakan sholat tahiyatul masjid atau shalat sunat
mutlak, ia terus dalam sholatnya, tanpa harus membatalkan sholatnya
berdasarkan hadits-hadits yang shahih. Bahkan ia boleh berbicara dengan
temannya dalam kondisi itu, jika ada hajat mendesak. Adapun hadits
di bawah ini yang menjelaskan tentang tidak bolehnya sholat dan
bicara dalam kondisi tersebut maka hadits ini batil. Berikut
perinciannya:
إِذَا صَعِدَ الْخَطِيْبُ الْمِنْبَرَ ؛ فَلاَ صَلَاةَ وَلَا كَلاَمَ
“Apabila khatib sudah naik mimbar, maka tidak ada lagi sholat dan tidak ada lagi ucapan.”
Hadits ini batil
karena tidak ada asalnya sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh
Al-Albaniy dalam Adh-Dho’ifah (87). Namun, perlu diketahui bahwa jika
adzan sudah selesai ketika khatib berada di atas mimbar siap untuk
berkhutbah, maka seorang tidak boleh lagi berbicara dan melakukan
aktivitas apapun selain shalat tahiyatul masjid agar seluruh jamaah
memfokuskan diri untuk mendengarkan khutbah.
Berzikir dengan Tasbih
Berzikir
adalah ibadah yang harus didasari dengan keikhlasan dan mutaba’ah
(keteladanan) kepada Nabi SAW. Karenanya seorang tidak dianjurkan
menggunakan alat tasbih ketika ia berzikir sebab tidak ada contohnya
dari Nabi SAW berdzikir dengannya, tetapi beliau hanya berzikir dengan
jari-jemarinya. Adapun hadits berikut, maka ia adalah hadits palsu,
tidak boleh dijadikan hujjah dalam menetapkan sunahnya berzikir
dengan alat tasbih,
نِعْمَ الْمُذَكِّرُ السُّبْحَةُ وَإِنَّ أَفْضَلَ مَا يُسْجَدُ عَلَيْهِ الْأَرْضُ وَمَا أَنْبَتَتْهُ الْأَرْضُ
“Sebaik-baik pengingat
adalah alat tasbih. Sesungguhnya sesuatu yang paling afdhol untuk
ditempati bersujud adalah tanah dan sesuatu yang ditumbuhkan oleh
tanah“.
[HR.Ad-Dailamiy (4/98- sebagaimana dalam Mukhtashar-nya)]
Hadits ini adalah hadits yang palsu
sebagaimana yang dinyatakan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Adh-Dho’ifah
(83), karena adanya rawi-rawi yang majhul. Selain itu hadits ini
secara makna adalah batil, sebab tasbih tidak ada di zaman Nabi SAW.
Menuntut Ilmu di Masa Muda
Keutamaan
menuntut ilmu sangat banyak disebutkan dalam ayat-ayat maupun
hadits-hadits shahih. Bahkan sampai di dalam hadits yang dhoif dan
palsu, seperti berikut,
أَيُّمَا
نَاشِئٍ نَشَأَ فِيْ طَلَبِ الْعِلْمِ وَالْعِبَادَةِ حَتَّى يَكْبُرَ
وَهُوَ عَلَى ذَلِكَ أَعْطَاهُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثَوَابَ
اثْنَيْنِ وَسَبْعِيْنَ صِدِّيْقًا
“Anak muda mana pun yang
tumbuh dalam menuntut ilmu dan ibadah sampai ia menjadi tua,
sedangkan dia masih tetap di atas hal itu, maka Allah akan
memberikannya pada hari kiamat pahala 72 orang shiddiqin“.
[HR.Tamam Ar-Raziy dalam Al-Fawaid (2428), Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ Al-Ilm (1/82)].
Namun, hadits ini derajatnya adalah dhoif jiddan (lemah sekali),
bahkan boleh jadi hadits ini palsu, karena di dalamnya ada rawi yang
bernama Yusuf bin Athiyyah. Dia adalah seorang yang mungkarul
hadits. Bahkan An-Nasa’iy menilainya matruk (ditinggalkan karena
biasa berdusta atas nama manusia). Karenanya Syaikh Al-Albaniy
menghukumi hadits ini dhoif jiddan dalam Adh-Dho’ifah (700).
Bersedihlah ketika Membaca Al-Qur’an
Ketika
membaca Al-Qur’an memang kita dianjurkan untuk bersedih sebagai
hasil renungan dan tadabbur makna-makna ayat sebagaimana yang
dijelaskan dalam sunah. Adapun hadits di bawah ini, sekalipun sebagian
maknanya benar, namun ia bukan hujjah dalam hal ini karena kelemahan
hadits ini. Nash haditsnya:
اِقْرَؤُوْا الْقُرْآنَ بِحُزْنٍ فَإِنَّهُ نَزَلَ بِالْحُزْنِ
“Bacalah Al-Qur’an dengan perasaan sedih, karena dia turun dengan kesedihan“.
[HR. Al-Khollal dalam Al-Amr Bil Ma’ruf (20/2) dan Abu Sa’id Al-A’robiy dalam Mu’jam-nya (124/1)].
Dalam
sanad-nya terdapat rawi yang bernama Uwain bin Amr Al-Qoisiy, dia
adalah seorang yang mungkarul hadits lagi majhul menurut Al-Bukhariy.
Selain itu juga ada rawi yang bernama Ismail bin Saif. Dia adalah
seorang yang biasa mencuri hadits dan meriwatkan hadits yang lemah
dari orang-orang yang tsiqah. Tak heran jika Al-Albaniy menyatakan hadits ini dhoif jiddan (lemah sekali) dalam kitabnya Adh-Dho’ifah (2523).
Kekasih Allah
Orang
yang bertaubat dari dosa-dosanya adalah orang yang terpuji di sisi
Allah berdasarkan dalil-dalil dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Adapun
hadits berikut ini, maka dia adalah hadits yang palsu, tidak ada
asalnya:
التَّائِبُ حَبِيْبُ اللهِ
“Orang yang bertaubat adalah kekasih Allah.”
Hadits
ini adalah hadits yang bukan berasal dari Nabi SAW. Tidak ada seorang
imam ahlul hadits yang meriwayatkan hadits ini dalam kitab-kitab
mereka. Hadits ini hanyalah disebutkan oleh Al-Ghazaliy dalam
kitabnya Ihya’ Ulumuddin (4/434) dengan menyandarkannya kepada Nabi
SAW, padahal hadits ini adalah hadits palsu, tidak ada asalnya. Lihat penjelasan palsunya hadits ini dalam Adh-Dho’ifah (95) karya Syaikh Al-Albaniy Al-Atsariy
Ikhlas 40 Hari
Ikhlas
adalah sifat orang mukmin. Keutamaan ikhlas telah dimaklumi baik
dalam hadits yang shohih, maupun hadits yang lemah. Namun, kita tidak
butuh kepada hadits dhoif seperti di bawah ini, karena itu bukan
sabda Nabi SAW. Konon kabarnya Nabi SAW bersabda,
من أخلص لله أريعين يوما ظهرت ينابيع الحكمة على لسانه
“Barang siapa yang ikhlas karena Allah selama 40 hari, niscaya akan muncul mata air hikmah pada lisannya“.
[HR. Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah (5/189)]
Hadits ini dhoif (lemah)
karena terdapat inqitho’ (keterputusan) antara Makhul dengan Abu
Ayyub Al-Anshoriy. Selain itu, Hajjaj bin Arthoh, rawi dari Makhul
adalah seorang mudallis, dan ia meriwayatkannya secara mu’an’anah.
Sedang seorang mudallis jika meriwayatkan hadits secara mu’an’anah
(dengan memakai kata “dari”), maka haditsnya dhoif (lemah). Tak heran
jika Syaikh Al-Albaniy melemahkannya dalam Adh-Dho’ifah (38)
Dunia dan Hakikatnya
Banyak
sekali hadits-hadits palsu yang beredar di masyarakat. Ada yang
keliru maknanya, dan ada yang bagus maknanya, seperti hadits ini:
أََََوْحَى اللهُ إِلَى الدُّنْيَا أَنِ اخْدِمِيْ مَنْ خَدَمَنِيْ وَأَتْعِبِيْ مَنْ خَدَمَكِ
“Allah wahyukan kepada dunia, 'Layanilah orang yang melayani-Ku, dan capaikanlah orang yang melayanimu' “.
[HR. Al-Khothib dalam Tarikh Baghdad (8/44), dan Al-Hakim dalam Ma’rifah Ulum Al-Hadits (hal.101)]
Hadits ini palsu,
karena Al-Husain bin Dawud Al-Balkhiy yang banyak meriwayatkan
naskah hadits palsu dari Yazid bin Harun. Karena itu, Al-Albaniy
menyebutkan hadits ini dalam deretan hadits-hadits palsu dalam
Adh-Dho’ifah.
Hak Anak atas Orang Tua
Seyogyanya
orang tua memilihkan nama yang baik untuk anaknya dan mendidik
akhlaknya sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi SAW dan para
sahabatnya. Adapun hadits yang berbunyi:
حَقُّ الْوَلَدِ عَلَى الْوَالِدِ أَنْ يُحَسِّنَ اسْمَهَ وَيُحَسِّنَ أَدَبَهُ
“Hak seorang anak atas orang tuanya, orang tua memperbaiki nama anaknya, dan akhlaknya“.
[HR. Abu Muhammad As-Siroj Al-Qoriy dalam Al-Fawaid (5/32/1-kumpulan 98), dan lainnya].
Maka hadits ini palsu
karena ada dua orang rawi: Muhammad Al-Fadhl, adalah seorang
pendusta, dan Muhammad bin Isa adalah orangnya matruk (ditinggalkan).
Karenanya Al-Albaniy mencantumkan hadits ini dalam Adh-Dho’ifah (199)
Jum’at Hajinya Orang Fakir
Ibadah
haji adalah ibadah yang dicita-citakan oleh setiap orang, sehingga
setiap orang berusaha mengumpulkan harta demi ibadah itu. Namun,
sebagian di antara manusia ada yang tidak sempat melaksanakannya,
sehingga ia bersedih, tetapi kesedihan itu hilang karena ia
mendengarkan sebuah hadits berikut,
الدَّجَاجُ غَنَمُ فٌقَرَاءِ أُمَّتِيْ وَاْلجُمُعَةُ حَجُّ فُقَرَائِهَا
“Ayam adalah kambingnya orang fakir dari kalangan umatku, dan shalat jum’at hajinya orang fakir mereka”.
[HR. Ibnu Hibban dalam Al-Majruhin (3/90)]
Namun ternyata sayangnya, hadits ini palsu,
sehingga seorang muslim tidak boleh meyakini dan mengamalkannya. Dia
palsu karena ada seorang rawi yang bernama Abdullah bin Zaid
An-Naisaburiy. Dia adalah seorang pendusta yang suka memalsukan hadits.
Lihat Adh-Dho’ifah (192)
Nabi Ilyas dan Khidir Bersaudara Kandung
Ketika
seseorang membaca kisah para nabi di luar Al-Qur’an, maka seorang
harus berhati-hati, karena di sana banyak hadits-hadits yang lemah,
bahkan palsu yang berbicara tentang kehidupan para nabi. Oleh karena
itu, seorang harus yakin betul bahwa hadits ini shahih berdasarkan
keterangan para ulama, baru setelah itu dia yakini. Di antara hadits
lemah yang menyebutkan kisah para nabi di antaranya adalah hadits
berikut ini,
إِلْيَاسُ وَالخَضِرُ أَخَوَانِ أَبُوْهُمَا مِنَ الفُرْسِ وَأُمُّهُمَا مِنَ الرُّوْمَ
“Nabi Ilyas dan Khidir adalah dua orang bersaudara. Bapak mereka dari Persia, dan ibunya dari Romawi“.
[HR. Ad-Dailamiy dalam Musnad Al-Firdaus (1/2/124)]
Hadits ini palsu
karena ada dua orang rawi bermasalah dalam memalsukan hadits, yaitu
Ahmad bin Ghalib dan Abdur Rahman bin Muhammad Al-Yahmadiy. Oleh
karena itu, Syaikh Al-Albaniy menyatakan hadits ini palsu dalam
Adh-Dho’ifah (2257).
Penduduk Surga
Banyak
sekali hadits-hadits palsu yang beredar di masyarakat. Terkadang
maknanya lurus, namun terkadang juga menggelitik orang seperti hadits
palsu berikut,
أَهْلُ الْجَنَّةِ جَرَدٌ إِلَّا مُوْسَى بْنَ عِمْرَانَ فَإِنَّ لَهُ لِحْيَةً إِلَى سُرَّتِهِ
“Penduduk surga adalah belalang, kecuali Musa bin Imran, karena dia memiliki jenggot sampai ke pusarnya“.
[HR.Al-Uqoiliy dalam Adh-Dhu’afaa’ (185), Ibnu Adi dalam Al-Kamil (4/48), dan Ar-Raziy dalam Al-Fawa’id (6/111/1)].
Hadits ini adalah hadits batil yang palsu.
Dalam sanad-nya terdapat seorang rawi yang suka memalsukan hadits,
yaitu Syaikh-nya Ibnu Abi Kholid Al-Bashriy. Maka tak heran apabila
Syaikh Al-Albaniy mencantumkan hadits ini dalam kitabnya Adh-Dho’ifah
(704).
Amalan Sedikit, tetapi Bermanfaat
Bermalas-malasan
dalam beribadah sudah menjadi kebiasaan sebagian kaum muslimin. Ada
beberapa faktor yang menyebabkan hal tersebut di antaranya rasa
takutnya kepada Allah masih kurang, keimanan terhadap Hari Pembalasan
masih minim, dan ada juga yang malas karena mungkin beramal dengan
hadits di bawah ini,
قَلِيْلُ العَمَلِ ينَْفَعُ مَعَ العِلْمِ، وَكَثيِْرُ العَمَلِ لَايَنْفَعُ مَعَ الجَهْلِ
“Amalan yang sedikit akan
bermanfaat, jika disertai oleh ilmu; dan amalan yang banyak tidak
akan bermanfaat, jika disertai kejahilan“.
[HR. Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ Bayan Al-’Ilm wa Fadhlih (1/145)]
Hadits ini dhoif, bahkan palsu,
disebabkan adanya tiga rawi: [1] Muhammad bin Rauh bin ‘Imran
Al-Qutairiy (orangnya lemah), [2] Mu’ammal bin Abdur Rahman
Ats-Tsaqofiy (orang dho’if). Ibnu Adi berkata,”Dominan haditsnya tidak
terpelihara”; [3] Abbad bin Abdush Shomad. Ibnu Hibban berkata,
“…Abbad bin Abdush Shomad menceritakan kami dari Anas tentang suatu
naskah hadits, seluruhnya maudhu’ (palsu)”. Al-Albaniy berkata,
“Hadits ini Palsu” [lihat Adh-Dho’ifah (369)].
Kencing di Lubang
Kencing
di lubang adalah perkara yang boleh, kecuali jika di dalamnya ada
makhluk seperti semut, maka hendaknya kita jangan kencing di tempat itu
demi menyayangi makhluk Allah yang kecil ini. Adapun hadits yang
berikut, maka haditsnya dhoif:
Abdullah bin Sarjis ra. berkata,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى أَنْ يُبَالَ فِيْ الْجُحْرِ
“Nabi SAW melarang kencing di lubang."
[HR. Abu Dawud (29), dan An-Nasa’iy (34)].
Hadits ini adalah hadits yang lemah
karena adanya keterputusan antara Qotadah dan Abdullah bin Sarjis
ra.. Selain itu, Qotadah juga adalah seorang yang mudallis. Tak heran
jika Syaikh Al-Albaniy men-dhoifkan hadits ini dalam Al-Irwa’ (55).
Solusi Terakhir
Talak
adalah solusi terakhir ketika terjadi cekcok yang parah antara
suami-istri setelah melalui proses yang panjang berupa nasihat dan
usaha perbaikan lainnya. Jadi, talak adalah perkara yang halal yang
tidak dibenci oleh Allah, jika dilakukan pada tempatnya. Adapun
hadits yang menjelaskan bahwa talak adalah perkara yang dibenci dalam
segala hal, maka haditsnya dhoif sebagaimana perinciannya berikut
ini,
أَبْغَضُ الْحَلَالِ إِلَى اللهِ عَزَّوَجَلَّ الطَّلَاقُ
“Perkara halal yang paling dibenci oleh Allah -Azza wa Jalla- adalah talak“.
[HR. Abu Dawud (2178) dan Ibnu Majah (2018)]
Hadits ini adalah hadits yang mudhtharib (goncang) sanad-nya sebagaimana yang kita bisa lihat penjelasannya dalam Al-Irwa’ (2040) karya Syaikh Al-Albaniy.
Doa Keluar WC
Ada
sebuah hadits yang menyebutkan doa keluar WC. Doa ini banyak
disebarkan dan dimasyhurkan di TPA dan TQA. Ternyata haditsnya lemah
sebagaimana dalam penjelasan berikut ini,
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ أَذْهَبَ عَنِّيَ الْأَذَى وَعَافَانِيْ
”Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan dariku gangguan (kotoran) ini dan telah menyehatkan aku”.
[HR. Ibnu Majah dalam Sunan-nya (301)]
Hadits ini adalah hadits yang dhoif
karena dalam sanad-nya terdapat rawi yang bernama Ismail bin Muslim
Al-Makkiy. Dia adalah seorang yang lemah haditsnya sebagaimana yang
dinyatakan oleh Al-Hafizh dalam At-Taqrib. Hadits ini memiliki syahid
dari riwayat Ibnu Sunniy dalam Amal Al-Yaum wal Lailah (29). Namun
hadits ini juga lemah, karena ada seorang yang majhul dalam sanadnya,
yaitu Al-Faidh. Hadits ini dilemahkan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam
Al-Irwa’ (53).
Ketentuan dan Takdir Allah
Ketentuan
dan takdir Allah adalah perkara gaib yang tidak boleh ditetapkan
dengan hadits lemah, apalagi palsu, seperti hadits ini,
إِذَا
أَرَادَ اللهُ إِنْفَاذَ قَضَائِهِ وَقَدَرِهِ ؛ سَلَبَ ذَوَيْ
الْعُقُوْلِ عُقُوْلَهُمْ حَتَّى يُنْفِذَ فِيْهِمْ قَضَاءَهُ وَقَدَرَهُ
“Apabila Allah ingin
melaksanakan ketentuan dan takdir-Nya, maka Allah akan menarik
(menghilangkan) akalnya orang-orang yang memiliki pikiran, sehingga
Allah melaksanakan ketentuan dan takdir-Nya pada mereka“.
[HR. Al-Khothib dalam Tarikh Baghdad (14/99), Ad-Dailamiy dalam Musnad
Al-Firdaus (1/1/100), dari jalur Abu Nu’aim dalam Tarikh Ashbihan
(2/332)]
Hadits ini lemah bahkan boleh jadi palsu
karena rawi yang bernama Lahiq bin Al-Husain. Sebagian ahlul hadits
menuduhnya pendusta dan suka memalsukan hadits. Karenanya, Syaikh
Al-Albaniy memasukkannya dalam kitabnya, Adh-Dho’ifah (2215).
Taubat yang Benar
Seorang
ketika telah bertaubat dari suatu dosa hendaknya ia berusaha dengan
sekuat tenaga meninggalkan dosa itu sebagaimana yang dijelaskan oleh
para ulama kita. Adapun hadits berikut, maka ia adalah hadits dhoif
(lemah),
التَّوْبَةُ مِنَ الذَّنْبِ أَنْ لَا تَعُوْدَ إِلَيْهِ أَبَدًا
“Taubat dari dosa, engkau tidak kembali kepadanya selama-lamanya“.
[HR. Abul Qosim Al-Hurfiy dalam Asyr Majalis min Al-Amali (230), dan Al-Baihaqiy dalam Syu’abul Iman (7036)]
Hadits ini lemah
karena dalam sanad-nya terdapat rawi yang bernama Ibrahim bin Muslim
Al-Hijriy; dia adalah seorang yang layyinul hadits (lembek haditsnya).
Selain itu, juga ada Bakr bin Khunais, seorang yang shoduq (jujur),
tetapi memiliki beberapa kesalahan. Karenanya Syaikh Al-Albaniy
melemahkannya dalam Adh-Dho’ifah (2233).
Adam Turun di India
Dalam
kisah-kisah para nabi dan rasul disebutkan kisah masyhur bahwa Adam
turun di negeri India, berdasarkan hadits yang lemah berikut ini,
نَزَلَ
آدَمُ بِالْهِنْدِ وَاسْتَوْحَشَ فَنَزَلَ جِبْرِيْلُ فَنَادَى
بِالْأَذَانِ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ
إِلَّا اللهُ مَرَّتَيْنِ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ
مَرَّتَيْنِ قَالَ آدَمُ مَنْ مُحَمَّدٌ قَالَ آخِرُ وَلَدِكَ مِنَ
الْأَنْبِيَاءِ
“Nabi Adam turun di India
dan beliau merasa asing. Maka turunlah Jibril seraya mengumandangkan
adzan, “Allahu Akbar, Asyhadu Ala Ilaha illallah (dua kali), Asyhadu
Anna Muhammadan Rasulullah (dua kali) ". Adam bertanya, “Siapakah
Muhammad itu?” Jibril menjawab, “Cucumu yang paling terakhir dari
kalangan terakhir ".
[HR.Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyqo (2/323/2)]
Hadits ini dhoif (lemah) atau palsu
karena ada seorang rawi dalam sanad-nya yang bernama Muhammad bin
Abdillah bin Sulaiman. Orang yang bernama seperti ini ada dua; yang
pertama dipanggil Al-Kufiy, orangnya majhul (tidak dikenal), sedang
orang yang seperti ini haditsnya lemah. Yang satunya lagi, dikenal
dengan Al-Khurasaniy. Orang ini tertuduh dusta. Jika dia yang terdapat
dalam sanad ini, maka hadits ini palsu. Hadits ini di-dhoif-kan oleh
Syaikh Al-Albaniy dalam Adh-Dho’ifah (403).
Bagi-bagi Keburukan
Mengangkat
dan merendahkan derajat suatu bangsa harus didasari oleh dalil dari
Al-Qur’an dan sunah. Adapun hadits di bawah, maka tidak boleh
dijadikan dalil dalam merendahkan Suku Barbar, karena kelemahan hadits
ini,
الْخُبْثُ سَبْعُوْنَ جُزْءًا فَجُزْءٌُ فِيْ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ وَتِسْعٌ وَسِتُّوْنَ فِيْ الْبَرْبَرِ
“Keburukan ada 70 bagian; satu bagian pada jin dan manusia, dan 69 bagian pada orang-orang Barbar”.
[HR. Ya’qub bin Sufyan Al-Fasawiy dalam Al-Ma’rifah wa At-Tarikh
(2/489), Ath-Thobraniy dalam Al-Ausath (8672), dan Ibnu Qoni’ dalam
Mu’jam Ash-Shahabah].
Mengangkat dan merendahkan derajat suatu bangsa harus didasari oleh dalil dari Al-Qur’an dan hadits. Hadits ini adalah hadits yang lemah
menurut penilaian Syaikh Al-Albaniy Al-Atsariy dalam As-Silsilah
Adh-Dho’ifah (2535), karena dalam hadits ini terdapat dua penyakit:
Inqitho’ (keterputusan) antara Yazid bin Abi Habib dengan Abu Qois,
dan terjadinya idhthirob (kesimpangsiuran) dari sisi sanad akibat
kelemahan seorang rawi yang bernama Abu Sholih (dikenal dengan Katib
Al-Laits).
Kisah Nabi Idris bersama Malaikat Maut
Di
sana ada sebuah kisah palsu yang dinisbahkan secara dusta kepada
Nabi Idris. Saking masyhurnya kisah ini, banyak penulis dan majalah
yang menukilnya, seperti kami pernah temukan dalam Majalah “Anak
Shaleh”. Bunyi hadits itu,
إِنَّ
إِدْرِيْسَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ صَدِيْقًا لِمَلَكِ
الْمَوْتِ. فَسَأَلَهُ أَن يُرِيَهُ الْجَنَّةَ وَ النَّارَ, فَصَعَدَ
إِدْرِيْسُ فَأَرَاهُ النَّارَ فَفَزِعَ مِنْهَا وَكَادَ يُغْشَى
عَلَيْهِ, فَالْتَفَّ عَلَيْهِ مَلَكُ الْمَوْتِ بِجَنَاحِهِ, فَقَالَ
مَلَكُ الْمَوْتِ: أَلَيْسَ قَدْ رَأَيْتَهَا؟ قَالَ: بَلىَ, وَلَمْ أَرَ
كَالْيَوْمِ قَطُّ. ثُمَّ انْطَلَقَ بِهِ حَتَّى أَرَاهُ الْجَنَّةَ,
فَدَخَلَهَا, فَقَالَ مَلَكُ الْمَوْتِ: انْطَلِقْ قَدْ رَأَيْتَهَا.
قَالَ إِلَى أَيْنَ؟ قَالَ مَلَكُ الْمَوْتِ: حَيْثُ كُنْتَ. قَالَ
إِدْرِيْسُ: لَا وَاللهِ ! لَا أَخْرُجُ مِنْهَا بَعْدَ أَنْ
دَخَلْتُهَا. فَقِيْلَ لِمَلَكِ الْمَوْتِ: أَلَيْسَ أَنْتَ قَدْ
أَدْخَلْتَهُ إِيَّاهَا؟ وَإِنَّهُ لَيْسَ لِأَحَدٍ دَخَلَهَا أَنْ
يَخْرُجَ مِنْهَا
“Sesungguhnya Nabi Idris
dulu berteman dengan Malaikat Maut. Lalu ia pun meminta kepadanya
agar diperlihatkan surga dan neraka. Maka idris pun naik (ke langit),
lalu Malaikat Maut memperlihatkan neraka kepadanya. Lalu Idris kaget
sehingga hampir pinsang. Maka Malaikat Maut mengelilingkan sayapnya
pada Idris seraya berkata, “Bukankah engkau telah melihatnya?” Idris
berkata, “Ya, sama sekali aku belum pernah melihatnya seperti hari
ini”. Kemudian, Malaikat Maut membawanya sampai ia memperlihatkan
surga kepada Nabi Idris seraya masuk ke dalamnya. Malaikat Maut
berkata, “Pergilah, sesungguhnya engkau telah melihatnya”. “Kemana?”,
tanya Idris. “Ke tempatmu semula”, jawab Malaikat Maut. “Tidak !
Demi Allah, aku tak akan keluar setelah aku memasukinya”, tukas
Idris. Lalu dikatakanlah kepada Malaikat Maut, “Bukankah engkau yang
telah memasukkannya? Sesungguhnya seorang yang telah memasukinya
tidak boleh keluar darinya“. [HR. Ath-Thobroniy dalam Al-Mu’jam Al-Ausath (2/177/1/7406)]
Hadits ini adalah hadits maudhu’ (palsu),
karena dalam sanadnya terdapat rawi yang tertuduh dusta, yaitu
Ibrahim bin Abdullah bin Khalid Al-Mishshishiy. Sebab itu, hadits ini
dicantumkan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam kumpulan hadits-hadits
palsu di dalam kitabnyaAdh-Dho’ifah (339).
Empat Berkah dari Langit
Di antara hadits palsu yang beredar di masyarakat adalah berikut ini. Konon kabarnya Nabi SAW bersabda,
إِنَّ اللهَ أَنْزَلَ أَرْبَعَ بَرَكَاتٍ مِنَ السَمَاءِ إِلَى اْلأَرْضِ فَأَنْزَلَ الْحَدِيْدَ وَالنَّارَ وَالْمَاءَ وَالْمِلْحَ
“Sesungguhnya Allah telah menurunkan empat berkah dari langit ke bumi; maka Allah menurunkan besi, api, air, dan garam“.
[HR. Ad-Dailamiy dalam Musnad Al-Firdaus (1/2/221)]
Hadits
ini palsu , tak benar datangnya dari Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa
sallam-. Dalam sanadnya terdapat Saif bin Muhammad, seorang pendusta !!
Karenanya, Syaikh Al-Albaniy Al-Atsariy -rahimahullah- menyatakan
hadits ini palsu dalam Adh-Dho’ifah (3053).
Fadhilah Mendatangi Sholat Jamaah
Fadhilah
sholat berjamaah banyak disebutkan dalam hadits-hadits shohih.
Adapun hadits berikut adalah hadits lemah, tak boleh diamalkan, dan
diyakini sebagai sabda Nabi SAW,
اَلْمَشَّاؤُوْنَ إِلَى الْمَسَاجِدِ فِي الظُّلَمِ أُوْلَئِكَ الْخَوَّاضُوْنَ فِيْ رَحْمَةِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ
“Orang yang sering berjalan
menuju masjid dalam kondisi gelap, mereka itu adalah orang yang
berada dalam rahmat Allah –Azza wa Jalla-”.
[HR. Ibnu Majah dalam Sunan-nya (779), Ibnu Adi dalam Al-Kamil
(1/281), dan Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyqo (17/456) & (52/18)]
Hadits
ini adalah dhoif (lemah), karena ada dua rawi yang bermasalah dalam
sanad-nya: Muhammad bin Rofi’, dan Isma’il bin Iyasy. Walau Isma’il
tsiqah, namun jika ia meriwayatkan hadits dari selain orang-orang
Syam, maka haditsnya lemah!! Hadits ini ia riwayatkan dari Muhammad
bin Rofi’, seorang penduduk Madinah. Ke-dho’if-an hadits ini telah
ditegaskan oleh Syaikh Al-Albaniy Al-Atsariy dalam Adh-Dho’ifah (3059)
Padamkan Neraka dengan Sholat
Jika
kita mau mengoleksi hadits-hadits yang menjelaskan keutamaan sholat,
maka terlalu banyak. Namun, di sini ada hadits lemah dalam hal
ini, yaitu hadits yang berbunyi,
إِنَّ
لِلّهِ تَعَالَى مَلَكًا يُنَادِيْ عِنْدَ كُلِّ صَلاَةٍ : يَا بَنِيْ
آدَمَ قُوْمُوْا إِلَى نِيْرَانِكُمْ الَّتِيْ أَوْقَدْتُمُوْهَا عَلَى
أَنْفُسِكُمْ فَأَطْفِئُوْهَا بِالصَّلاَةِ
“Sesungguhnya Allah
-Ta’ala- memiliki seorang malaikat yang memanggil setiap kali sholat,
“Wahai anak Adam, bangkitlah menuju api (neraka) kalian yang telah
kalian nyalakan bagi diri kalian, maka padamkanlah api itu dengan
sholat“.
[HR. Ath-Thobroniy dalam Al-Ausath (9452) dan Ash-Shoghir (1135), Abu Nu'aim dalam Al-Hilyah (3/42-43), dan lainnya]
Hadits
ini lemah karena ada seorang rawi bernama Yahya bin Zuhair
Al-Qurosyiy. Dia adalah seorang majhul (tak dikenal). Olehnya, Syaikh
Al-Albaniy -rahimahullah- melemahkan hadits ini dalam Adh-Dho’ifah
(3057)
Orang Baik Dibutuhkan Orang
Di antara hadits palsu yang biasa diucapkan oleh sebagian dai-dai adalah hadits berikut,
إِذَا أَرَادَ اللهُ بِعَبْدٍ خَيْرًا ؛ صَيَّرَ حَوَائِجَ النَّاسِ إِلَيْهِ
“Jika Allah menghendaki kebaikan pada seorang hamba, maka Allah akan menjadikan kebutuhan-kebutuhan manusia kepadanya“.
[HR. Ad-Dailamiy dalam Musnad Al-Firdaus (1/1/95)]
Hadits
ini palsu disebabkan oleh adanya rawi dalam sanad-nya yang bernama
Yahya bin Syabib; dia seorang pemalsu hadits. Karenanya Syaikh
Al-Albaniy meletakkan hadits ini dalam Adh-Dho’ifah (2224)
Manusia yang Terburuk Kedudukannya
Banyak
sekali hadits-hadits lemah yang tersebar di kalangan kaum muslimin,
namun mereka tak sadar bahwa itu bukanlah sabda Rasulullah SAW,
seperti hadits,
إِنَّ مِنْ أَسْوَأِ النَّاسِ مَنْزِلَةً مَنْ أَذْهَبَ آخِرَتَهُ بِدُنْيَا غَيْرِهِ
“Sesungguhnya manusia yang
paling buruk kedudukannya, orang yang menghilangkan (menghancurkan)
akhiratnya dengan dunia orang lain“.
[HR. Ath-Thoyalisiy dalam Al-Musnad (2398), dan Al-Baihaqiy dalam Syu'abul Iman (6938)]
Hadits
ini adalah hadits dhoif (lemah), karena rawi yang bernama Syahr bin
Hausyab, seorang jelek hapalannya dan banyak me-mursal-kan hadits,
dan Al-Hakam bin Dzakwan, seorang yang maqbul. Intinya, hadits ini
lemah sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam
Adh-Dho’ifah (2229)
Bertakwa di Masa Tua
Bertakwa
kepada Allah bukan hanya di masa tua, bahkan juga harus di masa
muda. Namun, tentunya ketakwaan lebih ditingkatkan lagi di masa tua
berdasarkan hadits-hadits shohih bukan berdasarkan hadits palsu ini,
إِذَا أَتَى عَلَى الْعَبْدِ أَرْبَعُوْنَ سَنَةً يَجِبُ عَلَيْهِ أَنْ يَخَافَ اللهَ تَعَالَى وَيَحْذَرَهُ
“Jika telah datang (lewat) 40 tahun pada diri seorang hamba, maka wajib baginya untuk takut dan khawatir kepada Allah -Ta’ala- “.
[HR. Ad-Dailamiy dalam Al-Firdaus (1/89)]
Hadits
ini palsu karena ada rawi dalam sanad-nya yang bernama Ahmad bin
Nashr bin Abdillah yang dikenal dengan Adz-Dari’. Dia adalah seorang
pemalsu hadits, pendusta, dan dajjal. Karenanya, Al-Albaniy Al-Atsariy
menyatakannya palsu dalam Adh-Dho’ifah (2200)
Memulai dengan Hamdalah
Ada
sebuah hadits yang masyhur dalam kitab-kitab dan lisan manusia yang
menjelaskan harusnya seseorang memulai segala urusan yang penting
dengan membaca Alhamdulillah. Namun, hadits ini lemah sebagaimana
berikut ini perinciannya,
كُلُّ أَمْرٍ ذِيْ بَالٍ لاَ يُبْدَأُ فِيْهِ بِالْحَمْدِ فَهُوَ أَقْطَعُ
“Segala urusan penting yang tidak dimulai di dalamnya dengan alhamdulillah, maka urusan itu akan terputus“.
[HR. Ibnu Majah dalam Sunan-nya (1894)]
Hadits
ini lemah karena ke-mursal-an yang terjadi pada sanad-nya
sebagaimana yang dijelaskan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya (2/677),
dan Syaikh Al-Albaniy. Karenanya, Al-Albaniy melemahkan hadits ini
dalam Al-Irwa’ (2).
Tanda Tawadhu’
Tawadhu’
adalah perkara yang dianjurkan karena dia adalah akhlak yang mulia.
Saking mulianya sampai dalam hadits yang palsu pun disebutkan
kemuliannya, seperti hadits berikut,
مِنَ
التَّوَاضُعِ أَنْ يَشْرَبَ الرَّجُلُ مِنْ سُؤْرِ أَخِيْهِ وَمَنْ
شَرِبَ مِنْ سُؤْرِ أَخِيْهِ ابْتِغَاءَ وَجْهِ اللهِ تَعَالَى رُفِعَتْ
لَهُ سَبْعُوْنَ دَرَجَةً وَمُحِيَتْ عَنْهُ سَبْعُوْنَ خَطِيْئَةً
وَكُتِبَ لَهُ سَبْعُوْنَ دَرَجَةً
“Di antara bentuk
ketawadhu’an, seorang mau meminum sisa minuman saudaranya. Barang
siapa yang meminum sisa minum saudaranya, karena mencari wajah Allah
-Ta’ala-, maka akan diangkat derajatnya sebanyak 70 derajat, dan akan
dihapuskan 70 kesalahan darinya, serta dituliskan baginya 70 derajat.”
[HR.Ad-Dauqutniy sebagaimana dalam Al-Maudhu'at (3/40) karya Ibnul Juaziy].
Hadits
ini adalah hadits yang palsu karena ada seorang rawi yang bernama
Nuh bin Abi Maryam, dia adalah seorang yang tertuduh dusta. Selain
itu hadits ini semakin lemah karena Ibnu Juraij (seorang rawi dalam
hadits ini) adalah seorang yang mudallis, sedangkan ia
meriwayatkannya secara mu’an’anah (menggunakan lafadz dari). Demikian
penjelasan Syaikh Al-Albaniy secara ringkas dalam kitabnya
Adh-Dho’ifah (79).
Orang-orang yang Beruntung
Orang-orang
yang beruntung banyak disinggung dalam Al-Qur’an dan sunah yang
shahihah. Bahkan dalam hadits yang dhoif pun, seperti hadits berikut,
أَفْلَحَ
مَنْ كَانَ سُكُوْتُهُ تَفَكُّرًا وَنَظَرُهُ اِعْتِبَارًا أَفْلَحَ
مَنْ وَجَدَ فِيْ صَحِيْفَتِهِ اِسْتِغْفَارًا كَثِيْرًا
“Beruntunglah orang yang
diamnya adalah tafakkur, pandangannya adalah ibroh, beruntunglah
orang yang mendapatkan istighfar yang banyak dalam catatan amalannya”.
[HR. Ad-Dailamiy dalam Musnad Al-Firdaus (1/1/123)].
Hadits
ini adalah dhoif karena dalam sanad-nya terdapat dua orang yang
majhul (tidak dikenal), yaitu Abul Khushaib Ziyad bin Abdurrahman, dan
Husain bin Mansur Al-Asadiy Al-Kufiy dan juga seorang yang lemah
(Hibban ibnu Ali Al-Anaziy). Syaikh Al-Albaniy menghukumi hadits ini
dho’if (lemah) dalam Adh-Dho’ifah (2519).
Makanan Dunia dan Akhirat
Banyak
sekali hadits dhoif yang tersebar di masyarakat. Utamanya
hadits-hadits yang berkaitan dengan janji-janji dan keutamaan, seperti
hadits ini,
أَفْضَلُ طَعَامِ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ اللَّحْمُ
“Seutama-utamanya makanan dunia dan akhirat adalah daging”.
[HR. Al-Uqoiliy dalam Adh-Dhu'afa' (1264)].
Hadits
ini dihukumi dhoif jiddan oleh Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin
Al-Albaniy Al-Atsariy dalam Adh-Dho’ifah (2518), karena ada seorang
rawi yang bernama Amr bin Bakr As-Saksakiy. Hadits-haditsnya
menyerupai hadits palsu. Sebab itu Al-Hafizh menggelarinya dengan
matruk (ditinggalkan karena biasa berdusta atas nama manusia). Selain
itu, anaknya (Ibrahim bin Amr As-Saksakiy) yang meriwayatkan darinya
senasib dengan ayahnya.
Berdzikir Setiap Saat
Berdzikir
setiap saat merupakan perkara yang dianjurkan sebagaimana yang telah
dijelaskan dalam hadits-hadits shohih, bahkan dalam hadits-hadits
dhoif, seperti hadits ini,
أَكْثِرُوْا
ذِكْرَ اللهِ عَلَى كُلِّ حَالٍ فَإِنَّهُ لَيْسَ عَمَلٌ أَحَبُّ إِلَى
اللهِ تَعَالىَ وَلَا أَنْجَى لِعَبْدٍ مِنْ كُلِّ سَيِّئَةٍ فِي
الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ مِنْ ذِكْرِ اللهِ تَعَالَى
“Perbanyaklah dzikir kepada
Allah dalam segala kondisi, karena tak ada suatu amalan yang lebih
dicintai oleh Allah -Ta’ala- , dan lebih menyelamatkan seorang hamba
dari segala kejelekan di dunia, dan akhirat dibandingkan dzikir
kepada Allah“.
[HR. Adh-Dhiya' Al-Maqdisiy dalam Al-Mukhtaroh (7/112/1)]
Hadits
ini palsu, karena Abu Abdir Rahman Asy-Syamiy. Dia adalah seorang
pendusta seperti yang dinyatakan oleh Al-Azdiy -rahimahullah-. Ada
penguat bagi hadits ini dari riwayat Al-Baihaqiy, sayangnya hadits
ini juga palsu, karena ada rawi-nya bernama Marwan bin Salim
Al-Ghifariy Al-Jazariy; dia adalah pendusta. Lihat rincian palsunya
hadits ini dalam Adh-Dho’ifah (2617).
Hati-hati dengan Dunia
Seorang
manusia di dunia ibaratnya seorang musafir; ia singgah mengambil
bekal menuju akhirat berupa amal sholih. Namun, dunia terkadang
memperdaya kebanyakan manusia,
إحذروا الدنيا فإنها أسحر من هاروت وماروت
“Waspadalah terhadap dunia, karena ia lebih memperdaya dibandingkan Harut dan Marut“.
Namun
sayang, hadits ini adalah palsu, tak ada asalnya. Hadits ini
disebutkan oleh Al-Ghozaliy dalam Ihya’ Ulumuddin, padahal ia palsu.
Al-Iroqiy dalam Takhrij Al-Ihya’ (3/177) menukil dari Adz-Dzahabiy
bahwa hadits ini mungkar, tak ada asalnya. Sebab itu, Al-Albaniy
menempatkannya dalam Adh-Dho’ifah (34) sebagai tempat bagi hadits palsu
dan dhoif.
Siapa yang Adzan, Dia yang Iqamat
“Barangsiapa yang adzan, maka dialah yang iqamat”.
[HR. Abud Dawud (514), At-Tirmidziy (199), dan lainnya]
Hadits
ini lemah karena berasal dari Abdurrahman bin Ziyad Al-Afriqiy. Dia
lemah hapalannya. Sebab itu, Al-Albaniy melemahkannya dalam
Adh-Dha’ifah (no. 35) dan Al-Irwa’ (237).
Syaikh Al-Albaniy berkata dalam Adh-Dha’ifah (1/110), “Di
antara dampak negatif hadits ini, dia merupakan sebab timbul
perselisihan di antara orang-orang yang mau shalat, sebagaimana hal itu
sering terjadi. Yaitu ketika tukang adzan terlambat masuk mesjid
karena ada udzur, sebagian orang yang hadir ingin meng-iqamati shalat,
maka tak ada seorang pun di antara mereka kecuali ia menghalanginya
seraya berhujjah dengan hadits ini. Orang miskin ini tidaklah tahu
kalau haditsnya lemah, tidak boleh mengasalkannya kepada Nabi SAW ,
terlebih lagi melarang orang bersegera menuju ketaatan kepada Allah,
yaitu meng-iqamati shalat”.
Barang Siapa yang Tidak Mengenal Imamnya
Ketaatan
kepada penguasa merupakan perkara asasi di kalangan Ahlus Sunnah.
Sebaliknya, mendurhakai mereka merupakan perkara yang diharamkan,
apalagi jika sampai menghina, merendahkan mereka, dan mencabut tangan
darinya, karena hal ini akan menimbulkan kerusakan di kalangan
hamba-hamba Allah.
Banyak sekali
dalil-dalil baik dalam Al-Kitab, maupun sunnah yang memerintahkan
kita untuk taat kepada pemerintah muslim, dan mengharamkan durhaka
kepada mereka.
Namun, ada satu hal yang kami perlu ingatkan di sini bahwa disana ada sebuah hadits yang dho’if dalam masalah ini,
مَنْ مَاتَ وَلَمْ يَعْرِفْ إِمَامَ زَمَانِـهِ مَاتَ مِيـْتَةً جَاهِلِيَّةً
“Barangsiapa yang tidak mengenal imam (penguasa) di zamannya, maka ia mati seperti matinya orang-orang jahiliyah”.
Ahmad bin Abdul Halim Al-Harraniy berkata, “Demi Allah, Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- tidaklah pernah mengatakan demikian . . .”. [Lihat Adh-Dho’ifah (1/525)]
Syaikh Al-Albaniy -rahimahullah- berkata setelah menyatakan bahwa hadits ini tidak ada asal-muasalnya, “Hadits
ini pernah aku lihat dalam sebagian kitab-kitab orang-orang Syi’ah
dan sebagian kitab orang-orang Qodiyaniyyah (Ahmadiyyah). Mereka
menjadikannya sebagai dalil tentang wajibnya beriman kepada Nabi Palsu,
Mirza Ghulam Ahmad. Andaikan hadits ini shahih, niscaya tidak ada
isyarat sedikit pun tentang sesuatu yang mereka sangka, paling tidak
intinya kaum muslimin wajib mengangkat seorang pemerintah yang akan
dibai’at”. [Lihat As-Silsilah Adh-Dho’ifah (no. 350).
Agama adalah Akal
Ada
sebuah hadits yang biasa digunakan orang dan masyhur menunjukkan
keutamaan akal dan pikiran. Namun, kebanyakan orang tidak mengenal
kepalsuan hadits tersebut. Adapun hadits yang dimaksud, lafaznya sebagai
berikut,
اَلدِّيْنُ هُوَ الْعَقْلُ, وَمَنْ لاَدِيْنَ لَهُ لاَ عَقْلَ لَهُ
“Agama adalah akal pikiran, Barangsiapa yang tidak ada agamanya, maka tidak ada akal pikirannya”.
[HR. An-Nasa`iy dalam Al-Kuna dari jalurnya Ad-Daulabiy dalam Al-Kuna
wa Al-Asma’ (2/104) dari Abu Malik Bisyr bin Ghalib dan Az-Zuhri dari
Majma’ bin Jariyah dari pamannya]
Hadits
ini adalah hadits lemah yang batil karena ada rawinya yang majhul,
yaitu Bisyr bin Gholib. Bahkan Ibnu Qayyim -rahimahullah- berkata
dalam Al-Manar Al-Munif (hal. 25), “Hadits yang berbicara tentang akal seluruhnya palsu”.
Oleh karena itu, Syaikh Al-Albaniy berkata, “Di
antara hal yang perlu diingatkan bahwa semua hadits yang datang
menyebutkan keutamaan akal adalah tidak shahih sedikit pun.
Hadits-hadits tersebut berkisar antara lemah dan palsu. Sungguh aku
telah memeriksa, diantaranya hadits yang dibawakan oleh Abu Bakr Ibnu
Abid Dunya dalam kitabnya Al-Aql wa Fadhluh, maka aku menemukannya
sebagaimana yang telah aku utarakan, tidak ada yang shahih sama
sekali”. [Lihat Adh-Dhi’ifah (1/54)]
Mengusap Tengkuk Ketika Wudhu'
Sebagian
kaum muslimin, ketika dia berwudhu’, maka ia mengusap tengkuknya.
Benarkah hal ini ada haditsnya yang bisa dijadikan hujjah?
Jawabannya: hadits ada namun ia merupakan hadits palsu.
مَسْحُ الرَقَبََةِ أَمَانٌ مِنَ الْغِلِّ
“Mengusap tengkuk merupakan pelindung dari penyakit dengki”.
An-Nawawiy berkata dalam Al-Majmu’ (1/45), “Ini adalah hadits palsu, bukan sabda Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-”.
Syaikh Al-Albaniy berkata, “Hadits ini palsu”. [Lihat Adh-Dho’ifah (1/167)]
Dari
sini, kita mengetahui tentang tidak disyari’atkannya mengusap
tengkuk ketika berwudhu’, karena tidak ada hadits yang shahih
menetapkannya. Adapun hadits ini – sebagaimana yang anda lihat-
merupakan hadits palsu. Jadi, tidak boleh diamalkan dan dijadikan
hujjah dalam menetapkan suatu hukum.
Wallahu 'Alam bish Shawwab
Sumber : nugraha-corporation.blogspot.com